Wednesday 21 December 2011

SOFTSKILL #3

BLT : Pemerintah tidak becus        

         Pemerintah berencana akan mengumumkan pendistribusian dana kompensasi berupa bantuan langsung tunai plus pada tanggal 23 Mei 2008 yang akan datang. Meskipun waktu pelaksanaan telah semakin dekat, namun ketidaksiapan pemerintah tampak di mana-mana. Selain masih banyaknya kalangan miskin yang belum terdata, para lurah dan RT yang menjadi ujung tombak pelaksanaan BLT pun masih belum sependapat mengenai konsep dana kompensasi tersebut.
          Dari pemberitaan harian Kompas (19/5) dikemukakan sinyalemen penolakan pendistribusian dana BLT dari aparat-aparat pemerintahan pada tingkat terendah, seperti ketua RT dan RW, sampai aparat tingkat Kabupaten. Para pemimpin informal dari ketua rukun tetangga (RT), ketua rukun warga (RW), penghulu, lurah dan camat di beberapa wilayah—seperti Tasikmalaya (Jawa Barat), Kota Semarang, Kabupaten Banjarnegara (Jawa Tengah), dan Kabupaten Agam (Sumatera Barat)—mengindikasikan keberatan mereka atas pelaksanaan BLT.
          Penolakan pelaksanaan BLT, sebagaimana diliput Kompas (19/5) muncul dari ketua RT dan RW se-Kelurahan Panglayungan, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya. Ketua RW 07, Kelurahan Panglayungan, Maman Basyir, mengemukakan, “Kami tidak ingin terlibat dalam distribusi BLT karena pengalaman pembagian BLT tahun 2005 ketua RT dan RW menjadi sasaran kemarahan massa yang tidak kebagian dana BLT.”
          Sikap senada juga dikemukakan kalangan camat di Ende, Flores, NTT. “Pendataan sebaiknya dilakuka dari bawah melibatkan kepala dusun/ketua RT, ketua RT, hingga kepala desa,” kata Johanes Vitalis Tote, Camat Detusoko, Ende.
Agus Priharwanto, Lurah Jagalan, Kecamatan Semarang Tengah, dan Joko Santoro, Lurah Pedurungan Kidul, Kedurungan, Kota Semarang menyatakan menolak penyaluran BLT jika masih didasarkan pada data keluarga miskin tahun 2005.
          Selain di wilayah-wilayah tersebut, beberapa bupati dari Indramayu, Cirebon, dan Serang, juga turut menolak pemberian BLT. Bupati-bupati tersebut memandang pemberian BLT akan memicu kecemburuan sosial di kalangan rakyat miskin dan tidak mendidik. “Lebih baik dana sebesar itu dialokasikan untuk proyek-proyek padat karya untuk pembangunan infrastruktur desa.
          Jika dibaca dengan seksama, pangkal penolakan mereka umumnya pada ketidaksiapan pelaksanaan BLT. Umumnya mengeluhkan tidak adanya pembaruan data keluarga miskin serta dampak yang bisa timbul akibat pelaksanaan BLT. Sementara pemerintah pusat sendiri masih tetap berdasarkan pada data keluarga miskin tahun 2005.
           Padahal data tersebut telah terbukti memancing gejolak di kalangan masyarakat akibat ketidakakuratan data. Selain itu, data tersebut juga sudah tidak relevan mengingat angka kemiskinan di Indonesia sesungguhnya mengalami peningkatan sejak dinaikkannya harga BBM pada Oktober 2005 yang lalu.
           Pemerintah sebelumnya menjamin bahwa program ini akan dikelola secara efektif, dengan pengawasan yang ketat, dan dijamin akan tepat sasaran. Bahkan, dengan ‘modal’ program BLT, wakil Presiden Jusuf Kalla berani menuding gerakan menolak kenaikan BBM sama dengan menghalangi rejeki bagi orang miskin.
           Adanya penolakan dari aparat pemerintah terbawah, mulai dari RT hingga camat semakin menunjukkan ketidaksiapan pemerintah dalam melaksanakan program BLT. Penolakan ini juga mematahkan klaim pemerintah tentang efektifitas pelaksanaan BLT. Secara tidak langsung, hal ini juga mematahkan argumentasi tentang pentingnya kenaikan harga BBM bagi pengentasan kemiskinan. Hal ini tentu saja membuat gusar pemerintah pusat.
           Di hadapan kepala Satpol PP dari 400 kota/Kabupaten dan asisten dua pemerintahan dari 33 propinsi, di Solo, Jumat (16/5), Menteri Dalam Negeri, Mardiyanto, menanggapi polemik BLT di jajaran pemerintahannya. Dengan nada geram, Mardiyanto mengatakan, “tidak pada tempatnya provinsi, kabupaten, kota menolak BLT. Ini tidak boleh terjadi! BLT plus untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan politik 2009!” ujar Mardiyanto.
           Melalui kasus BLT, rakyat Indonesia sesungguhnya telah melihat bahwa rejim SBY-JK semakin menampakkan karakter fasis dalam kebijakan-kebijakan politiknya. Dengan berbagai cara pemerintah berusaha memberangus kritik, menindas perbedaan pendapat, dan memaksakan sikap, dan meski tidak didukung oleh data dan alasan yang masuk akal.


Sumber: http://fprsatumei.wordpress.com/2008/05/19/blt-pemerintah-tidak-becus/

 
Pendapat : Dari berita di atas dapat dilihat bahwa pemerintah kurang sigap menjalani proyek ini, pemerintah tidak memperbaharui data sehingga aparat pemerintah tingkat rendah menolak pelaksanaan BLT . Karena, aparat menjadi sasaran massa yg tidak mendapatkan BLT . Hal ini disebabkan oleh data yg digunakan masih data yg lama, tidak diperbaharui . Dan ada alasan lagi mengapa aparat menolak pelaksanaan BLT, karena pembagian BLT menimbulkan kecemburuan sosial .

No comments:

Post a Comment